Minggu, 13 Maret 2011

6 Pilar Pengasuhan Positif pada Anak

Rabu, 9/3/2011

JAKARTA, KOMPAS.com — Tak ada sekolah khusus untuk menjadi orangtua. Tetapi, orangtua tetap perlu belajar menerapkan pola pengasuhan yang positif pada anak agar dapat membentuk karakter positif anak di masa depan. Ilmu pengasuhan ini dapat Anda peroleh dari berbagai sumber, seperti seminar atau artikel di majalah dan buku-buku.

Pada dasarnya, ada enam pilar penting dalam pengasuhan anak, demikian menurut Hanny Muchtar Darta, saat peluncuran sekaligus bedah bukunya, Six Pillars of Positive Parenting, di arena Islamic Book Fair, Istora Senayan, Jakarta, Selasa (8/3/2011). Hal ini yang belum diketahui orangtua pada umumnya.

"Tanpa disadari, masih banyak orangtua yang menerapkan pola asuh atau pendekatan negatif dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Sebagai orangtua saya mengusahakan untuk belajar. Saya belajar untuk anak-anak saya, termasuk mempelajari enam pilar dalam mendidik anak-anak. Ini juga berdasarkan pribadi saya sebagai orangtua," ungkap Hanny.

Pilar pertama yang dimaksudnya adalah, kemitraan atau kerja sama antara ayah dan ibu (partnership parenting). Orangtua harus belajar bekerja sama dengan baik, terutama dalam mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada anak. Jangan sampai ada perbedaan pendapat dalam mengajarkan kedisplinan dan norma-norma kehidupan. Dengan demikian, anak akan mematuhi bimbingan orangtua karena melihat baik ayah maupun ibunya sepakat memberikan pandangan yang sama.

Pilar kedua terdiri atas "4B", lanjut Hanny, yaitu belailah, bicaralah, bermain, dan berpikir. Hanny memaparkan hasil penelitian Dr Harold Voth, psikiater dari Kansas, Amerika, mengenai unsur belaian. Berapa kali belaian yang Anda berikan pada anak setiap harinya akan memengaruhi tumbuh-kembangnya. Misalnya, empat belaian pada anak dalam sehari bisa membuat anak selalu survive. Delapan belaian sehari dapat mendukung masa tumbuh anak. Sedangkan 12 belaian akan membuat anak sehat secara fisik maupun emosi. Fungsi belaian ini pun berlaku bagi pasangan suami-istri. Belaian mampu mengusir depresi, membuat kita awet muda, tidur lebih nyenyak, dan meningkatkan kekebalan tubuh.

Kemudian Hanny menganjurkan orangtua untuk menjalin komunikasi dengan anak. Komunikasi dapat dilakukan dengan banyak cara, salah satunya dengan membacakan buku untuk anak dan menanyakan pendapatnya mengenai isi buku itu.

Selain ngobrol, orangtua juga harus menyempatkan waktu untuk mengajak anak bermain dengan melibatkan fisik. Pada kesempatan bermain, peran ayah jauh lebih besar untuk mengajak anak melakukan kegiatan seperti olahraga maupun melakukan permainan lain. Tak hanya bermain secara fisik, anak juga harus diajarkan bermain dengan menggunakan ekspos pikiran. Hal ini membantu anak untuk mengelola alam pikirannya. Latihan berpikir juga membantu anak mengomunikasikan apa yang dipikirkannya karena belum tentu pikiran anak dan orangtua sama.

Pilar ketiga, antara orangtua dan anak selalu ada kesepakatan dalam melaksanakan kedisiplinan, dan terapkan aturan secara konsisten. Aturan tidak harus selalu dibuat oleh orangtua. Contohnya dalam menyepakati jam belajar. Anak dan orangtua bisa berdiskusi, berapa jam yang dibutuhkan anak untuk mengulang pelajaran sekolahnya. Orangtua menunjukkan cinta kasih tetapi tetap dengan ketegasan.

"Pilar keempat, orangtua harus memahami emosi negatif anak sejak dini. Ketika anak kita sedih dan menangis, tanyakan mengapa ia sedih, atau apa yang membuatnya menangis. Kita coba pahami perasaan anak untuk memperbaiki emosi-emosi negatifnya," ujar Hanny.

Pilar kelima, yaitu pentingnya gaya bahasa positif agar anak sehat secara fisik dan emosional. Pada bagian ini, Hanny mengutip pernyataan dari Task Force for Personal and Social Responsibilities di Amerika yang menjelaskan bahwa setiap harinya orang mendengarkan 432 kata dan kalimat negatif, dan hanya 32 kata dan kalimat positif. Sebanyak 80 persen kata-kata tersebut menyakitkan, memberikan dampak psikologis yang buruk, dan tidak memotivasi orang untuk bangkit. Sisanya, 20 persen orang bertahan meskipun mendengar kata-kata tersebut. Oleh karena itu, orangtua perlu belajar untuk tidak marah secara berlebihan, apalagi mengancam anak.

Pilar terakhir dalam buku ini, orangtua harus menerapkan pola asuh tanpa hukuman. Ternyata hukuman saja tidak membuat anak mampu melakukan perubahan positif. Orangtua sepatutnya memberikan kebebasan pada anak, bukan dalam arti kebebasan penuh, melainkan membiarkannya memilih konsekuensi dari tindakan yang dilakukannya. Dengan demikian anak bisa memetik pelajaran atas apa yang sudah dilakukannya.

Selain memaparkan tentang pilar-pilar pengasuhan anak, buku ini juga membeberkan hasil penelitian para ahli dan serangkaian cerita-cerita tentang keluarga.

Membuat Anak Mendengar Anda Tanpa Perlu Berteriak

Jumat, 25/2/2011

KOMPAS.com - Tak enak rasanya melihat orangtua di tempat umum yang berusaha membuat anaknya mendengar perintahnya dengan cara berteriak. Ketika si orangtua berteriak, si anak pun ikut-ikutan berteriak saat berbicara. Apakah harus seperti itu? Sementara anak-anak lain bisa, kok, diberi tahu oleh orangtuanya tanpa harus dengan cara berteriak.

Berkomunikasi dengan anak seharusnya terjadi dua arah. Anda bicara padanya, dia mendengarkan, begitu juga sebaliknya tanpa ada salah satu yang intonasi suaranya meninggi. Ada cara-cara efektif untuk berkomunikasi dengan anak tanpa harus berteriak. Begini tipsnya:

Pesan "Saya"
Ada salah satu teknik komunikasi ekspresif untuk digunakan dengan anak, namanya "pesan saya". Terdapat 3 kata kunci dalam teknik ini, yakni; Saya merasa, ketika, dan karena.

Saat Anda berada dalam situasi ketika si anak meminta sesuatu sekarang juga, Anda bisa menggunakan teknik ini, jangan lupa gunakan ketiga kata kunci, contoh, "Mama (saya) merasa kesal ketika kamu mengganggu kerja Mama, karena Mama harus menyelesaikannya sebelum kita pergi ke taman bermain itu."

Teknik ini efektif karena ini memfokuskan kepada Anda dan perasaan Anda. Teknik ini tidak menyalahkan siapa pun, tetapi menjadi sebuah pernyataan sederhana dari cara pandang Anda terhadap situasi yang dihadapi.

Tekankan kepositivan
Salah satu cara berkomunikasi efektif dengan anak Anda adalah dengan menyusun kalimat secara positif. Hindari kata-kata "tidak" atau "jangan" saat bicara dengan anak. Ketimbang mengatakan, "Jangan buang mainan di lantai," lebih baik katakan, "Mainan itu tempatnya di keranjang mainan". Meski perubahannya sederhana, pemilihan kata-kata yang Anda gunakan berdampak besar pada reaksi anak dan caranya berinteraksi dengan orang lain.

Belanjar mendengarkan
Belajar dan mempraktikkan komunikasi yang reseptif adalah aspek penting untuk meningkatkan interaksi orangtua-anak. Amat penting mengenai apa yang Anda katakan (atau apa yang diekspresikan anak pada Anda) didengar dan dimengerti. Mendengarkan anak adalah bagian dari komunikasi yang reseptif, dan bisa digunakan sebagai cara untuk memahami anak.

Saat mendengarkan anak, hentikan segala bentuk aktivitas yang Anda lakukan dan berfokuslah pada anak Anda. Berlutut, duduk, atau angkat si kecil di atas bangku agar Anda dan dia berada dalam level yang setara. Saat si kecil berbicara, dengarkan sungguh-sungguh. Tanyakan pada diri Anda, "Apa yang dirasa oleh anak saya?" Lalu, ulangi apa yang Anda dengar atau apa yang Anda pikir sedang ia rasakan (kalau suaranya kurang jelas).

Kata kuncinya serupa poin pertama, "kamu, merasa, karena". Contoh, "Kamu merasa kesal karena kamu mau pergi ke taman bermain sekarang juga padahal Mama lagi bekerja." Menurut Terry Meredith, Patolog Bicara dan Bahasa dari TLM Consulting, penting untuk anak bisa mengekspresikan perasaannya lewat bahasa. Para orangtua juga bisa memberi tahu kepada anak bahwa adalah hal yang tak masalah untuk merasakan beberapa hal yang sama sekaligus.

Tindakan lebih jelas dari kata-kata
Ingat, bahwa pikiran Anda dikomunikasikan melalui tanda-tanda non-verbal. Cara Anda membawa diri bisa mengucapkan banyak hal ketimbang kata-kata.

Anda menghela napas sangat kencang, dahi mengerut, tangan mengepal, lalu tiba-tiba si kecil bertanya, "Mama marah?" lalu Anda menjawab sambil cemberut, "Enggak, Mama enggak marah". Bahasa tubuh Anda sudah jelas menunjukkan Anda marah dan kesal, tetapi Anda malah mengatakan sebaliknya. Saat tindakan dan kata-kata Anda tidak sinkron, Anda mengirimkan pesan ganda kepada anak. Anda membohongi perasaan, tetapi Anda menunjukkan apa yang sebenarnya Anda rasakan melalui tubuh Anda.

"Kebanyakan dari apa yang kita komunikasikan datang melalui komunikasi non-verbal. Pastikan bahasa non-verbal Anda sesuai dengan apa yang Anda katakan," anjur Meredith.

Teknik-teknik di atas bisa digunakan untuk mengkomunikasikan hal-hal positif kepada anak-anak Anda. Berikut ini satu tips yang bisa Anda lakukan untuk dipraktikkan setiap hari, angkat si kecil ke pangkuan Anda, lingkarkan lengan Anda di sisi kujurnya, lalu katakan, "Mama sangat bahagia saat kamu ada dekat Mama, karena Mama sayang sama kamu" dengan kata-kata atau bahasa yang lebih dimengerti Anda dan si kecil.

Kepercayaan Ortu Bikin Anak Mandiri

Kamis, 10/03/2011

KOMPAS.com — Rasa percaya yang diberikan orangtua kepada anak memengaruhi kemandirian dan kepercayaan dirinya. Hal itu termasuk dalam membebaskan anak bertualang mencari pengalaman berbeda yang suatu saat akan membawa pengaruh positif bagi dirinya. Inilah yang dibuktikan Skip Yowell, salah satu pendiri produsen tas asal Amerika bermerek JanSport.

Pria yang akrab disapa Skip ini meyakini membebaskan diri untuk bertualang, mencari pengalaman berbeda, dan mengamati kehidupan langsung di lapangan, menjadi bekal individu untuk menjadi mandiri dan percaya diri. Dampaknya kemudian, individu ini lebih mampu menapaki kehidupannya, mampu melahirkan berbagai inovasi dan yakin dengan dirinya untuk mewujudkan mimpi dan hasratnya. Selain mempraktikkan sendiri prinsip hidup bertualang ini, Skip juga memberikan kebebasan kepada putrinya untuk bertualang.

"Saat putri saya 17 tahun, saya membiayainya berkeliling enam negara di Eropa seorang diri. Saya bilang kepadanya, bertualanglah, carilah tantangan. Anak saya backpacking ke Eropa dan ia mengunjungi museum, situs bersejarah, berteman dengan pelajar asing di sana. Ia belajar bergaul dan bertemu dengan budaya dan orang yang berbeda. Dari perjalanan ini, ia belajar mandiri dan membangun kepercayaan diri," kisah Skip kepada Kompas Female seusai talkshow dalam rangkaian program "JanSport Goes to Campus" di Jakarta, Kamis (10/3/2011).

Skip mengatakan, kuncinya, ortu (orangtua) memberikan kepercayaan penuh kepada anak. Dengan begitu, anak bebas mengeksplorasi dirinya dan berkesempatan untuk mendapatkan pengalaman berbeda yang menjadi bekal dalam kehidupannya di masa mendatang. Kini, putri Skip berusia 25 dan mengikuti jejak ayahnya yang hobi bertualang. "Putri saya juga seorang traveler," katanya.

Bagaimana dengan Anda? Bentuk kepercayaan seperti apa yang sudah diberikan kepada anak? Sekecil apa pun kepercayaan Anda terhadap anak, pengaruhnya berdampak besar baginya. Ia akan tumbuh mandiri dan yakin atas dirinya karena ia mengetahui bahwa orangtuanya percaya sepenuhnya dan mendukung apa pun yang dilakukannya.