Kamis, 30 September 2010

LEBARAN

sedihnya lebaran kali ini, coz suami sedang ada tugas di negara Paman Sam. otomatis saya sendirian bertugas menjaga dan merawat anak-anak. tapi tidak apalah itukan memang sudah tugas dan kewajiban kita sebagai orang tua. toh suami juga pergi demi menjalankan tugasnya sebagai kepala rumah tangga dan kebahagiaan keluarga kami.
anak saya yang pertama sejak bayi memang sering sakit-sakitan, menurut dokter anak saya terkena alergi. saya juga bingung sebenarnya terkena alergi apa ya(menurut dokter anak sich alergi susu sapi, tapi sampai sekarang anak saya masih sering minum susu dancow Alhamdulillah gak apa-apa....???!!!), coz makan macam-macam juga gak apa-apa tuch....sampai sekarang anak saya masih sering sakit. setiap lebaran anak saya yang pertama selalu sakit batuk dan demam, jadi kami selalu langganan pergi ke dokter anak. begitu juga dengan lebaran kemarin, sakit batuknya tak kunjung sembuh meski obatnya sudah habis. saya di anjurkan oleh dokter anak, untuk membawa anak kami ke dokter THT. menurut dokter barangkali anak saya terkena infeksi telinga, sehingga sering batuk. padahal anak saya tidak pernah mengeluh pada saya bahwa telinganya merasakan kesakitan .
setelah anak saya benar-benar sehat, baru kemarin saya pergi ke dokter THT. sesampainya di rumah sakit ketika giliran dipanggil, anak saya merasa katakutan dengan sang dokter. ia nangis dan tidak mau diperiksa oleh dokter, hingga dokter memutuskan untuk memberi obat tetes telinga dan saya diharuskan kembali lagi minggu depan. semoga saja minggu depan dapat berjalan dengan lancar..... Amin

Rabu, 22 September 2010

Mengajarkan Toleransi dan Rasa Hormat pada Anak

Rabu, 22/9/2010

KOMPAS.com Kita hidup berdampingan dengan orang yang berbeda golongan. Ajarkan keindahan perbedaan itu dengan toleransi dan rasa hormat, bukan dengan adu gengsi atau kehebatan. Masih ingat pelajaran di sekolah dasar dulu? Mengenai kerukunan, mengenai persatuan, mengenai toleransi, dan negara kita dikenal sebagai negara yang rukun dan toleran? Sepertinya sudah lama sekali, ya? Ya, memang, hal-hal mengenai toleransi dan hormat kepada orang lain memang harus diajarkan kepada anak-anak sejak dini. Tak hanya untuk kebaikan dirinya di masa depan. Tetapi untuk orang-orang di sekelilingnya juga.

Tidakkah Anda jengah mendengar pemberitaan mengenai perseteruan dua kubu yang berkonflik? Seandainya ada rasa toleransi dan sama-sama bertoleransi dan menghormati, hingga bisa bicara dan menemukan jalan tengah, tak perlu ada rasa sakit hati hingga korban berjatuhan. Yuk, ajar di kecil apa artinya toleransi dan rasa hormat kepada orang lain yang bisa saja menganut pemahaman berbeda darinya.

Toleransi adalah kemampuan seseorang untuk menerima perbedaan dari orang lain. Hal ini baru bisa dilakukan oleh seseorang jika ia sudah merasakan dan memahami keterikatan, regulasi diri, afiliasi, dan kesadaran. Ketika ia sudah mampu menjaga hubungan yang sehat dan dekat, merasa berada dalam sebuah kelompok, serta merasa nyaman di dalamnya, juga mampu menilai sebuah situasi, melihat kekuatan, kebutuhan, dan ketertarikan orang lain.

Rasa hormat, merupakan kemampuan untuk melihat serta merayakan nilai di dalam diri kita dan orang lain. Butuh emosi, kognitif, serta kematangan sosial. Membangun rasa menghormati adalah tantangan seumur hidup, namun prosesnya dimulai sejak dini.

Berikut adalah hal yang perlu diingat oleh orangtua mengenai cara mengajarkan toleransi dan rasa hormat pada orang lain kepada anak oleh Bruce D. Perry, M.D, Ph.D, profesor di Thomas S. Trammell, Texas, Amerika.

Rasa aman
Toleransi dan rasa hormat tumbuh ketika anak merasakan keamanan. Ada dua faktor dalam diri anak untuk merasakan keamanan dalam dirinya. Pertama, adalah ia harus merasa bahwa dirinya spesial, berharga, dan diterima. Jika ia merasa diterima oleh orang lain, akan lebih mudah untuknya bisa menerima orang lain.

Yang kedua adalah level keterancaman anak dalam situasi baru. Otak memiliki sistem saraf yang menilai dan merespon pada ancaman potensial. Otak secara langsung akan memroses pengalaman baru sebagai hal yang negatif dan menilainya sebagai ancaman hingga terbukti kebalikannya. Jika ia berada dalam lingkungan yang ia kenal, pengalaman baru akan dinilainya sebagai keadaan aman dan menarik. Namun, jika keadaannya tak ia kenal dan mengancam, ia akan menilainya sebagai keadaan menakutkan.

Menghormati diri
Dalam hidup, kita pasti pernah merasa rendah diri dan tidak diingini. Ini adalah hal yang wajar. Dalam hidup, kita akan bertemu banyak orang. Semua orang tersebut akan kita jadikan parameter untuk menilai diri kita sendiri. Dari cara mereka memberi perhatian, dukungan, pujian, akan membuat kita merasa positif. Namun, saat seseorang memberi komentar negatif dan perasaan disakiti, kita akan menilai diri sebagai orang yang tak menarik dan inkompeten. Begitu pun anak kita.

Tak heran, kita akan lebih ingat kata-kata atau komentar negatif orang lain kepada kita, dan pujian atau masukan positif orang lain tak akan menghapus hal tersebut. Inilah alasan mengapa sebagian orang dewasa menilai diri cukup rendah dan sering marah kepada diri sendiri, alhasil mencari kambing hitam, mudah emosian, dan lainnya. Kadang, kita mengidolakan seseorang dan mencoba menjadi orang itu, saat kita tak bisa mencapai itu, kita marah pada diri sendiri, hingga yang keluar dari kita adalah hal-hal buruhk.

Anak yang butuh dorongan
Anak yang tak bisa bertoleransi akan menjadi tipe orang yang main hakim sendiri terhadap orang yang tidak serupa dengannya. Alhasil, ia akan cenderung mengejek orang lain, usil, bahkan bully atau jahat kepada anak lain. Anak yang tak memiliki kemampuan bertoleransi akan merasa insecure terhadap statusnya, kemampuannya, kepercayaannya, dan nilai yang ia miliki.

Sementara anak yang punya masalah dengan rasa hormat akan terlihat sebagai anak yang sulit bekerja sama, dan sulit menerima saudara kandungnya, orangtuanya, dan otoritas orangtuanya. Kebanyakan, anak semacam ini memiliki masalah dengan rasa hormat kepada diri sendiri dan tak percaya diri. Namun ia akan menutupinya dengan kesombongan dan membanggakan kekuatan serta kemampuannya. Hal-hal ini ia lakukan untuk menutupi kerapuhan dirinya.

Ciri-ciri lain adalah ketika anak mulai mengatakan, "Aku payah", "Aku nakal", "Aku enggak bisa bikin itu", "Aku bodoh", atau "Rafa lebih pintar dari aku". Anak yang rendah diri akan membatasi dirinya untuk berkembang. Ia tak mencoba cukup keras, hingga pada hasilnya, ia akan ketinggalan dari teman-temannya, lalu menilai rendah dirinya sendiri.

Yang bisa dilakukan:
* Buat anak merasa bahwa dirinya spesial, aman, dan dicintai. Jangan menghemat kata-kata pujian saat ia memang melakukan hal yang baik dan membanggakan. Anak yang dikasihi akan belajar mengasihi orang lain.

* Ciptakan sarana belajar tempat baru, orang-orang baru, dan budaya berbeda. Paparkan si kecil pada banyaknya perbedaan di dunia ini. Ada banyak buku, makanan, event budaya dan perayaan untuk dikenalkan padanya. Ajak ia ke acara-acara budaya, kenalkan ia akan ritual agama lain. Ajar anak untuk berinteraksi dengan orang yang berbeda darinya dengan cara yang sehat. Tak ada yang salah kok dari perbedaan, asal saling menghormati dan toleransi.

* Gunakan komentar positif untuk membentuk sikap si anak. Hindari penggunaan kata-kata "menuduh", seperti "Jangan begitu, dong!" Coba gunakan kata-kata alternatif yang mendidik tetapi tidak menyuruh dan membuatnya merasa rendah diri, misal, "Yang lembut ke adik, ya, dia masih kecil, gampang terluka."

* Tunjukkan caranya. Anak akan belajar untuk bersikap lebih baik, sensitif, dan menghormati orang lain dengan melihat Anda, orangtuanya, berdiskusi, berpikiran terbuka, dan menghargai orang lain (tidak pula menjelek-jelekkan orang lain karena golongannya berbeda dengan Anda).